Popular posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pragmatik dan Ruang Lingkupnya

Rabu, 12 Maret 2014
Posted by Unknown
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Sejarah Perkembangan Pragmatik
Istilah pragmatik diperkenalkan oleh seorang filosof yang bernama Charless Morris tahun 1938. Ketika ia membicarakan bentuk umum ilmu tanda (semiotic). Ia menjelaskan dalam (Levinson, 1983:1) bahwa semiotik memiliki tiga bidang kajian, yaitu sintaksis (syintax), semantik (semantics), dan pragmatik (pagmatics). Sintaksis merupakan kajian lingustik yang mengkaji hubungan formal antar tanda. Semantik adalah kajian linguistik tentang hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda tersebut.
Pragmatik mengalami dua perkembangan makna yang berbeda. Di satu sisi pragmatik dengan konsep sebagaimana yang dimaksudkan oleh Morris di atas tetap dipertahankan. Di sisi lain, seorang Filosof sekaligus ahli logika yang bernama Carnap mengatakan bahwa apabila di dalam suatu penelitian terdapat rujukan yang konkret terhadap pembicara atau dalam istilah yang lebih umum, terhadap pengguna bahasa, maka dia menetapkan bahwa penelitian tersebut berada dalam bidang kajian pragmatik. Kemudian dalam perkembangan berikutnya, oleh Levinson (1983) pengertian tersebut dianggap terlalu sempit dan pengertian tersebut dimodifikasi menjadi kajian bahasa yang bereferensi atau berhubungan dengan faktor dan aspek-aspek kontekstual.
Pada saat ini, banyak para linguis yang berpandangan bahwa mustahil bagi pemakai bahasa dapat mengerti secara baik sifat-sifat bahasa yang mereka gunakan dalam berkomunikasi tanpa mengerti hakekat pragmatik, yaitu bagaimana bahasa sebagai alat komunikasi dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Ada kemungkinan bahwa pragmatik dapat menyebabkan penyederhanaan semantik. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa prinsip-prinsip pragmatik penggunaan bahasa dapat lebih memahami makna ujaran yang tidak dapat secara tuntas dapat dipahami dari makna harfiahnya (semantik) saja.
Pragmatik muncul karena ketidakpuasan terhadap pengkajian bahasa hanya secara formal (hanya pada bentuk).


II.2 Pengertian Pragmatik
Istilah pragmatik diperkenalkan oleh seorang filosof yang bernama Charless Morris tahun 1938. Ia menjelaskan dalam (Levinson, 1983:1) bahwa semiotik memiliki tiga bidang kajian, yaitu sintaksis (syintax), semantik (semantics), dan pragmatik (pagmatics). Sintaksis merupakan kajian lingustik yang mengkaji hubungan formal antar tanda. Semantik adalah kajian linguistik tentang hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda tersebut.
Menurut Levinson, pragmatik adalah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Pengertian bahasa menunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti suatu ungkapan atau ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasa dengan konteks pemakaiannya.

Pragmatik dan semantik keduanya membicarakan makna. Perbedaan keduanya terletak pada penggunaan kata kerja to mean sebagaimana dalam pertanyaan berikut ini (Leech, 1983):
1. What does X mean? (Apa arti X?)
2. What do you mean by X? (Apa maksudmu dengan X?)
Pada umumnya semantik menganggap makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic), seperti pada kalimat (1) sedangkan pragmatik menganggap makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi (triadic), sebagaimana tercermin pada kalimat (2) di atas. Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberi definisi dalam kaitannya dengan penutur, sedangkan dalam semantik makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam bahasa tertentu yang terpisah dari penuturnya (Leech, 1983).
Meskipun berbeda, dalam memahami makna suatu ujaran keduanya bekerjasama secara komplementer. Artinya, makna suatu ujaran tidak dapat hanya didekati dari salah satu satu sisi, baik semantik maupun pragmatik, harus dilihat dari keduanya. Dalam contoh di atas, misalnya, orang tidak akan dapat memahami bahwa ujaran “Gadis itu cantik” berarti anjuran atau keingnan bagi seorang pemuda untuk mengenali dan mendekatinya (Pragmatics). Apabila ia tidak memahami makna dasarnya maka hal itu masuk bidang semantik (semantics).

Ada dua hal penting yang perlu di cermati dari pengertian pragmatik di atas, yaitu penggunaan bahasa dan konteks tuturan. Adapun masalah konteks, menurut Dell Hymes (dalam James, 1980), meliputi 6 (enam) dimensi, yaitu:

a.       tempat dan waktu (setting), seperti ruang kelas, di masjid, di ma’had, di perpustakaan, dan di warung makan.
b.       pengguna bahasa (participants), seperti dokter dengan pasien, ustadz dan santri, penjual dengan pembeli.
c.       topik pembicaraan (content) seperti politik, seks, pendidikan, kebudayaan,
d.      tujuan (purpose) seperti bertanya, menjawab, memuji, menjelaskan, mengejek, dan menyuruh
e.        nada (key) seperti humor, marah, ironi, sarkasme, dan lemah lembut
f.         media/saluran (channel) seperti tatap muka, melalui SMS, melalui telepon, melalui surat, E-mail, dan, melalui tangan

II.3 Ruang Lingkup Pragmatik
Pragmatik mengacu pada kajian penggunaan bahasa yang berdasarkan pada konteks. Bidang kajian yang berkenaan dengan penggunaan bahasa pada konteks disebut bidang kajian pragmatic adalah deiksis (dexis), praanggapan (presupposition), tindak tutur (speech act) dan implikatur percakapan (conversational inplicature). Masing bidang kajian di atas dibahas secara singkat di bawah ini :
a.      Deiksis
Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan konteks pembicaraan.
Deiksis  dibagi menjadi 5 kategori yaitu :
·        Deiksis orang
Dieksis orang berkenaan dengan penggunaan kata ganti persona, seperti saya (kata ganti persona pertama), kamu (kata ganti persona kedua). Contoh Bolehkah saya datang kerumahmu? Kata saya dan -mu dapat dipahami acuannya hanya apabila diketahui siapa yang mengucapkan kalimat itu, dan kepada siapa ujaran itu ditujukan
·        Deiksis waktu
Deiksis waktu berkenaan dengan penggunaan keterangan waktu, seperti kemarin, hari ini, dan besok. Contoh, Bukankah besok hari libur? Kata besok memiliki rujukan yang jelas hanya apabila diketahui kapan kalimat itu diucapkan.
·        Deiksis tempat
Deiksis tempat berkenaan dengan penggunaan keterangan tempat, seperti di sini, di sana, dan di depan. Contoh duduklah di sini!. Kata di sini memiliki acuan yang jelas hanya apabila diketahui dimana kalimat itu diujarkan.
·        Deiksis wacana
Deiksis wacana berkaitan dengan penggunaan ungkapan dalam suatu ujaran untuk mengacu pada bagian dari ujaran yang mengandung ungkapan itu (termasuk ungkapan itu sendiri), seperti berikut ini, pada bagian lalu, dan ini. Contoh, kata that pada kalimat that was the funniest story ever heard. Penanda wacana yang menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat lain. Seperti any way, by the way, dan di samping itu juga termasuk dalam deiksis wacana. Deiksis sosial berkenaan dengan aspek ujaran yang mencerrminkan realitas sosial tertentu pada saat ujaran itu dihasilkan. Penggunaan kata Bapak pada kalimat “Bapak dapat memberi kuliah hari ini?” Yang diucapkan oleh seorang mahasiswa kepada dosennya mencerminkan deiksis sosial. Dalam contoh di atas dapat diketahui tingkat sosial pembicara dan lawan bicara. Lawan bicara memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi dari pada pembicara.

b.      Praanggapan (Presupposition)
Praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan (Brown dan yule, 1996). Asumsi tersebut ditentukan batas-batasannya berdasarkan anggapan-anggapan pembicara mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh lawan bicara tanpa tantangan.


c.       Tindak Tutur (Speech Act)
Tindak tutur merupakan bagian dari kajian pragmatik. Leech (1993) menyatakan bahwa pragmatic mempelajari maksud ujarran, menanyakan apa yang seseorrang maksudkan dengan suatu tindak tutur dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara, kepada siapa, dimana dan bagaimana.
d.      Implikatur Percakapan
Menurut Levinson (melalui Nadar, 2009: 61), menyebutkan implikatur sebagai salah satu gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik. Salah satu alasan penting yang diberikannya adalah bahwa implikatur memberikan penjelasan eksplisit tentang cara bagaimana dapat mengimplikasikan lebih banyak dari apa yang dituturkan.

Contoh :
Ibu       : “jam berapa sekarang Yah?
Ayah    : “ pedagang sayurnya belum datang”.

Jawaban dari pertanyaan di atas nampaknya tidak relevan dengan permintaan Ibu tentang waktu, namun ayah sebenarnya ingin mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak tahu secara tepat pada saat itu pukul berapa. Dia berharap penanya dapat memperkiraka waktunya sendiri dengan mengatakan bahwa tukang sayur sudah datang. Dalam konteks ini, nampaknya penutur dan lawan tutur sama-sama sudah mengetahui pukul berapa tukang sayur biasanya datang.


BAB III
KESIMPULAN


Munculnya istilah pragmatik dapat dihubungkan dengan seorang filsuf yang bernama Charles Morris (1938). Semiotik memiliki tiga bidang kajian, yaitu sintaksis (syintax), semantik (semantics), dan pragmatik (pagmatics). Pragmatik adalah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. bidang kajian pragmatic adalah deiksis (dexis), praanggapan (presupposition), tindak tutur (speech act) dan implikatur percakapan (conversational inplicature)

Sains, Asumsi dan Pendekatan

Posted by Unknown
BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Hampir setengah abad yang lalu, Vessel (1965:2) memberikan pendapat bahwa “science is what scientists do”. Sains adalah apa yang dikerjakan para ahli Sains (saintis). Setiap penemuan dari setiap aspek dari lingkungan sekitar mampu menjadikan seseorang dapat mengukurnya sebaik mungkin, mengumpul dan menilai data dari hasil penelitiannya dengan hati-hati dan terbuka. Pada bagian lain, Vessel (1965:3) mengemukakan bahwa “science is an intellectual search involving inquiri, rational trough, and generalization”. Hal itu mencakup tehnik Sains yang sering disebut sebagai proses Sains. Sedangkan hasilnya yang berupa fakta-fakta dan prinsip biasa disebut dengan produk Sains. Dalam proses sains inilah kita tidak dapat memisahkan asumsi dengan pendekatan serta metode-metode yang digunakannya guna mendapatkan produk sains yang berkualitas.
Maka dalam makalah ini penulis akan menjelaskan tentang “Sains, Asumsi dan Pendekatan, Metode Sains dan Metode Ilmiah”.

2.      Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang akan menjadi batasan masalah adalah sebagai berikut:
1.      Apa itu sains?
2.      Apa yang dimaksud dengan asumsi dan pendekatan?
3.      Bagaimanakah bentuk dari metode sains?
4.      serta Bagaimanakah kriteria dari metode ilmiah?
3.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis berkesimpulan bahwa yang menjadi tujuan penulisan yaitu:
1.      Penulis maupun pembaca mengerti tentang sains.
2.      Penulis maupun pembaca memahami tentang asumsi dan pendekatan.
3.      Penulis maupun pembaca mampu memahami bentuk metode sains dan kriteria dalam metode ilmiah.



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Sains
Kata sains berasal dari bahasa Latin scientia yang berarti "pengetahuan" atau "mengetahui". Dari kata ini terbentuk kata science (Inggris). Sains dalam pengertian sebenarnya adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai fenomena alam sehingga rahasia yang dikandungnya dapat diungkap dan dipahami. Budi (1998) menyatakan bahwa Sains itu adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam. Budi juga menjelaskan bahwa cara sains mengamati dunia bersifat analisis, lengkap, cermat serta menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena lain, sehingga keseluruhannya membentuk suatu prespektif yang baru tentang objek yang diamatinya. Robert B. Sund (1989) mengemukakan tiga karakteristik utama Sains yaitu:
1.      Memandang bahwa setiap orang mempunyai kewenangan untuk menguji validitas (kesahihan) prinsip dan teori ilmiah. Meskipun kelihatan logis dan dapat dijelaskan secara hipotesis, teori dan prinsip hanya berguna jika sesuai dengan kenyataan yang ada.
2.      Memberi pengertian adanya hubungan antara fakta-fakta yang di observasi yang memungkinkan penyusunan prediksi sebelum sampai pada kesimpulan.
3.      Memberi makna bahwa teori Sains bukanlah kebenaran yang akhir tetapi akan berubah atas dasar perangkat pendukung teori tersebut. Hal ini memberi penekanan pada kreativitas dan gagasan tentang perubahan yang telah lalu dan kemungkinan perubahan di masa depan, serta pengertian tentang perubahan itu sendiri.
Budi (1998) mengutip beberapa pendapat para ahli dan mengemukakan beberapa rincian hakikat Sains, diantaranya:
1.      Sains adalah bangunan atau deretan konsep dan skema konseptual (conceptual scheme) yang Saling berhubungan sebagai hasil eksperimentasi dan observasi (Conant, dalam Kuslan dan Stone, 1978).
2.      Sains adalah bangunan pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode observasi (Vessel, 1975).
3.      Sains adalah suatu sistem untuk memahami alam semesta melalui data yang dikumpulkan, melalui observasi atau eksperimen dan yang dikontrol (Carin and Sund, 1989).
4.      Sains adalah aktivitas pemecahan masalah oleh manusia yang termotivasi oleh keingintahuan akan alam di sekelilingnya dan keinginan untuk memahami, menguasai, dan mengelolanya demi memenuhi kebutuhan (Dawson, 1984). 
Jika dicermati ada dua aspek penting dari definisi-definisi tersebut yakni langkah-langkah yang ditempuh dalam memahami alam (proses Sains) dan pengetahuan yang dihasilkan berupa fakta, prinsip, konsep, dan teori (produk Sains). Kedua aspek tersebut harus didukung oleh sikap Sains (sikap ilmiah) berupa keyakinan akan nilai yang harus dipertahankan ketika mencari atau mengembangkan pengetahuan baru.

Sains memiliki ciri-ciri tertentu. Menurut Robert B. Sund. (1989) beberapa ciri sains tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Objek kajiannya sains berupa benda-benda konkret
  2. Sains mengembangkan pengalaman-pengalaman empiris
  3. Sains menggunakan langkah-langkah sistematis
  4. Hasil/produk sains bersifat objektif
  5. Sains menggunakan cara berpikir logis
  6. Hukum-hukum yang dihasilkan sains bersifat universal

2.      Asumsi dan Pendekatan
2.1    Asumsi
Asumsi merupakan sebuah anggapan, dugaan, pikiran yang dianggap benar untuk sementara sebelum ada kepastian. Ilmu menganggap bahwa objek-objek empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya jalin-menjalin secara teratur.
Suatu peristiwa tidaklah terjadi secara kebetulan namun tiap peristiwa mempunyai pola tetap yang teratur. Bahwa hujan diawali dengan awan tebal dan langit mendung, hal ini bukanlah merupakan suatu kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian. Kejadian ini akan berulang dengan pola yang sama. Alam merupakan suatu sistem yang teratur yang tunduk kepada hukum-hukum tertentu.


Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris, yaitu:
1.      Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya.
2.      Asumsi bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini jelas tidak mungkin dilakukan bila objek selalu berubah-ubah tiap waktu.
3.      Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu kejadian yang lain. Ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y, melainkan mengatakan X mempunyai kemungkinan (peluang) yang besar untuk mengakibatkan terjadinya Y. Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).
2.2        Pendekatan
Secara etimologis, istilah approach di dalam bahasa Indonesia berarti ‘pendekatan’ atau ‘ancangan’, yang kemudian dalam konteks permasalahan tertentu diartikan menjadi ‘cara pendekatan atau ancangan yang digunakan untuk mendekati masalah tertentu. Istilah ini digunakan secara luas di dalam ilmu-ilmu sosial, sehingga melahirkan berbagai istilah baru yang terkait dengan istilah itu seperti social approach dan cultural approach (yang digunakan dalam pembangunan sosial budaya), buttom-up approach atau top down approach (yang digunakan dalam konteks pembangunan ekonomi).
Di dalam konteks linguistik berikut ini dibicarakan secara berturut-turut mengenai pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif dalam studi linguistik historis komparatif.
1.      Pendekatan Kuantitatif
Pendekatan ini menggunakan cara kerja perhitungan statistik. Pendekatan kuantitatif dikenalkan oleh linguis Amerika yang bernama Morris Swadesh pada akhir tahun 1940-an (Crystal, 1987: 331). Adapun Keraf (1991:123) menyatakan bahwa pada hakikatnya ada empat asumsi dasar (basic assumtion) yang melandasi pendekatan kuantitatif, yaitu:
·        Pertama, sebagian kosa kata suatu bahasa sukar sekali berubah bila dibandingkan dengan bagian lainnya.
·        Kedua, retensi kosa kata dasar bertahan hampir sepanjang masa (kurang lebih dalam waktu 1000 tahun).
·        Ketiga, perubahan kosa kata dasar terjadi relatif sama pada semua bahasa.
·        Keempat, bila prosentase dari dua bahasa kerabat (cognate) diketahui maka dapat dihitung waktu pisah kedua bahasa itu.
2.      Pendekatan Kualitatif
Pendekatan ini adalah pendekatan yang tidak menggunakan dasar kerja secara statistik, tetapi berdasarkan bukti-bukti kualitatif. Yaitu unsur inovasi bersama, baik fonologis maupun leksikal yang dimiliki oleh suatu kelompok bahasa tertentu secara eksklusif.
Asumsi dasar pendekatan ini tentu saja terkait erat dengan hakikat perubahan bahasa. Bahasa yang alamiah, bukan yang artifisial, pasti mengalami perubahan dan dari perubahan itu mengimplikasikan adanya unsur retensi dan unsur inovasi. Perubahan bahasa itu tetap bersifat historis meskipun perubahan itu dialami oleh bahasa yang tidak mengenal sistem tulisan, atau bahasa lisan, karena aspek yang paling mendasar dari bahasa pada dasarnya tetap sama yaitu bunyi ujaran atau aspek fonologis.

3.      Metode
Secara etimologis, metode berasal dari kata 'met' dan 'hodes' yang berarti melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga 2 hal penting yang terdapat dalam sebuah metode adalah cara melakukan sesuatu dan rencana dalam pelaksanaan. Adapun metode yang akan kami bahas yaitu metode sains dan metode ilmiah.
3.1        Metode Sains
Jika Teori Relativitas dipandang makna filosofisnya, maka ada banyak alternatif untuk menampakkan kebenaran dan kita tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar, atau mana yang mendekati kenyataan. Sehingga, ketika orang tidak (mungkin) tahu ("know") tentang hakekat seluruh alam, maka reali tas atau "scientific truth” menjadi kabur dengan alasan:
·        Karena keterbatasan ilmu manusia, maka hukum Tuhan hanya dapat dijelaskan sebatas pengetahuan yang dikuasai.
·        Karena itu pula, tidak ada seorang saintis yang dapat mengklaim suatu teori sains yang paling benar secara mutlak.
·        Ungkapan yang bisa dinyatakan adalah: ”dari bukti-bukti pengamatan saat ini, maka teori inilah yang paling kuat, sekalipun bisa saja suatu saat ada bukti lain yang menggugurkannya”.
·        Seseorang tidak mungkin mempunyai akses rasional pada kebenaran universal.
Oleh karena itu observasi merupakan titik lemah dari metode sains, karena menurut metode ini objektivitas terhadap suatu observasi tidak mungkin begitu saja terjadi. Ditambah lagi semua orang memandang segala hal yang ada di dalam empirik dengan mata yang dilapisi oleh "lensa" dan setiap orang memiliki lensanya sendiri.
3.2        Metode Ilmiah
Metode ilmiah boleh dikatakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Menurut Almadk (Zaenal E. Arifin, 1987), “metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran.
Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
1.      Berdasarkan fakta.
2.      Bebas dari prasangka (bias)
3.      Menggunakan prinsip-prinsip analisa.
4.      Menggunakan hipotesa
5.      Menggunakah ukuran objektif.
6.      Menggunakan teknik kuantifikasi.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Budi menjelaskan bahwa cara sains mengamati dunia bersifat analisis, lengkap, cermat serta menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena lain, sehingga keseluruhannya membentuk suatu prespektif yang baru tentang objek yang diamatinya.
Kemudian asumsi didefinisikan sebagai sebuah anggapan, dugaan, pikiran yang dianggap benar untuk sementara sebelum ada kepastian. Sedangkan approach di dalam bahasa Indonesia berarti ‘pendekatan’ atau ‘ancangan’, yang kemudian dalam konteks permasalahan tertentu diartikan menjadi ‘cara pendekatan atau ancangan yang digunakan untuk mendekati masalah tertentu.

Adapun observasi merupakan titik lemah dari metode sains, karena menurut metode ini objektivitas terhadap suatu observasi tidak mungkin begitu saja terjadi.