Archive for 2014
Pragmatik dan Ruang Lingkupnya
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Sejarah Perkembangan Pragmatik
Istilah pragmatik diperkenalkan oleh seorang filosof yang
bernama Charless Morris tahun 1938. Ketika ia membicarakan bentuk umum ilmu
tanda (semiotic). Ia menjelaskan dalam (Levinson, 1983:1) bahwa semiotik
memiliki tiga bidang kajian, yaitu sintaksis (syintax), semantik (semantics),
dan pragmatik (pagmatics). Sintaksis merupakan kajian lingustik yang
mengkaji hubungan formal antar tanda. Semantik adalah kajian linguistik tentang
hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda tersebut.
Pragmatik mengalami dua perkembangan makna yang berbeda.
Di satu sisi pragmatik dengan konsep sebagaimana yang dimaksudkan oleh Morris
di atas tetap dipertahankan. Di sisi lain, seorang Filosof sekaligus ahli
logika yang bernama Carnap mengatakan bahwa apabila di dalam suatu penelitian
terdapat rujukan yang konkret terhadap pembicara atau dalam istilah yang lebih
umum, terhadap pengguna bahasa, maka dia menetapkan bahwa penelitian tersebut
berada dalam bidang kajian pragmatik. Kemudian dalam perkembangan berikutnya,
oleh Levinson (1983) pengertian tersebut dianggap terlalu sempit dan pengertian
tersebut dimodifikasi menjadi kajian bahasa yang bereferensi atau berhubungan
dengan faktor dan aspek-aspek kontekstual.
Pada saat ini, banyak para linguis yang berpandangan
bahwa mustahil bagi pemakai bahasa dapat mengerti secara baik sifat-sifat
bahasa yang mereka gunakan dalam berkomunikasi tanpa mengerti hakekat
pragmatik, yaitu bagaimana bahasa sebagai alat komunikasi dapat digunakan
sebagaimana mestinya.
Ada kemungkinan bahwa pragmatik dapat menyebabkan
penyederhanaan semantik. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa prinsip-prinsip
pragmatik penggunaan bahasa dapat lebih memahami makna ujaran yang tidak dapat
secara tuntas dapat dipahami dari makna harfiahnya (semantik) saja.
Pragmatik muncul karena ketidakpuasan terhadap pengkajian bahasa hanya secara formal (hanya pada bentuk).
II.2 Pengertian
Pragmatik
Istilah pragmatik
diperkenalkan oleh seorang filosof yang bernama Charless Morris tahun 1938. Ia
menjelaskan dalam (Levinson, 1983:1) bahwa semiotik memiliki tiga bidang
kajian, yaitu sintaksis (syintax), semantik (semantics), dan
pragmatik (pagmatics). Sintaksis merupakan kajian lingustik yang
mengkaji hubungan formal antar tanda. Semantik adalah kajian linguistik tentang
hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda tersebut.
Menurut Levinson,
pragmatik adalah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari
penjelasan pengertian bahasa. Pengertian bahasa menunjuk kepada fakta bahwa
untuk mengerti suatu ungkapan atau ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di
luar makna kata dan hubungan tata bahasa dengan konteks pemakaiannya.
Pragmatik dan semantik keduanya membicarakan makna. Perbedaan keduanya
terletak pada penggunaan kata kerja to mean sebagaimana dalam pertanyaan
berikut ini (Leech, 1983):
1. What does X mean? (Apa arti X?)
2. What do you mean by X? (Apa maksudmu dengan X?)
Pada umumnya semantik menganggap makna sebagai suatu
hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic), seperti pada kalimat (1)
sedangkan pragmatik menganggap makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan
tiga segi (triadic), sebagaimana tercermin pada kalimat (2) di atas.
Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberi definisi dalam kaitannya dengan
penutur, sedangkan dalam semantik makna didefinisikan semata-mata sebagai
ciri-ciri ungkapan dalam bahasa tertentu yang terpisah dari penuturnya (Leech,
1983).
Meskipun berbeda, dalam
memahami makna suatu ujaran keduanya bekerjasama secara komplementer. Artinya,
makna suatu ujaran tidak dapat hanya didekati dari salah satu satu sisi, baik
semantik maupun pragmatik, harus dilihat dari keduanya. Dalam contoh di atas, misalnya,
orang tidak akan dapat memahami bahwa ujaran “Gadis itu cantik” berarti
anjuran atau keingnan bagi seorang pemuda untuk mengenali dan mendekatinya (Pragmatics).
Apabila ia tidak memahami makna dasarnya maka hal itu masuk bidang semantik (semantics).
Ada dua hal penting yang
perlu di cermati dari pengertian pragmatik di atas, yaitu penggunaan bahasa dan
konteks tuturan. Adapun masalah konteks, menurut Dell Hymes (dalam James,
1980), meliputi 6 (enam) dimensi, yaitu:
a.
tempat dan waktu (setting), seperti ruang kelas, di
masjid, di ma’had, di perpustakaan, dan di warung makan.
b.
pengguna bahasa (participants), seperti dokter dengan pasien, ustadz dan santri,
penjual dengan pembeli.
c.
topik pembicaraan (content) seperti politik, seks,
pendidikan, kebudayaan,
d.
tujuan (purpose) seperti bertanya, menjawab,
memuji, menjelaskan, mengejek, dan menyuruh
e.
nada (key)
seperti humor, marah, ironi, sarkasme, dan lemah lembut
f.
media/saluran (channel) seperti tatap muka, melalui SMS, melalui telepon,
melalui surat, E-mail, dan, melalui tangan
II.3 Ruang Lingkup
Pragmatik
Pragmatik mengacu pada kajian penggunaan bahasa yang
berdasarkan pada konteks. Bidang kajian yang berkenaan dengan penggunaan bahasa
pada konteks disebut bidang kajian pragmatic adalah deiksis (dexis),
praanggapan (presupposition), tindak tutur (speech act) dan
implikatur percakapan (conversational inplicature). Masing bidang kajian
di atas dibahas secara singkat di bawah ini :
a. Deiksis
Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata
atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan
konteks pembicaraan.
Deiksis dibagi
menjadi 5 kategori yaitu :
·
Deiksis
orang
Dieksis orang berkenaan dengan
penggunaan kata ganti persona, seperti saya (kata ganti persona
pertama), kamu (kata ganti persona kedua). Contoh Bolehkah saya datang
kerumahmu? Kata saya dan -mu dapat dipahami acuannya hanya
apabila diketahui siapa yang mengucapkan kalimat itu, dan kepada
siapa ujaran itu ditujukan
·
Deiksis
waktu
Deiksis waktu berkenaan dengan
penggunaan keterangan waktu, seperti kemarin, hari ini, dan besok.
Contoh, Bukankah besok hari libur? Kata besok memiliki rujukan
yang jelas hanya apabila diketahui kapan kalimat itu diucapkan.
·
Deiksis
tempat
Deiksis tempat berkenaan dengan
penggunaan keterangan tempat, seperti di sini, di sana, dan di
depan. Contoh duduklah di sini!. Kata di sini memiliki acuan
yang jelas hanya apabila diketahui dimana kalimat itu diujarkan.
·
Deiksis
wacana
Deiksis wacana berkaitan dengan
penggunaan ungkapan dalam suatu ujaran untuk mengacu pada bagian dari ujaran
yang mengandung ungkapan itu (termasuk ungkapan itu sendiri), seperti berikut
ini, pada bagian lalu, dan ini. Contoh, kata that pada kalimat that
was the funniest story ever heard. Penanda wacana yang menghubungkan
kalimat yang satu dengan kalimat lain. Seperti any way, by the way, dan di
samping itu juga termasuk dalam deiksis wacana. Deiksis sosial berkenaan
dengan aspek ujaran yang mencerrminkan realitas sosial tertentu pada saat
ujaran itu dihasilkan. Penggunaan kata Bapak pada kalimat “Bapak dapat
memberi kuliah hari ini?” Yang diucapkan oleh seorang mahasiswa kepada dosennya
mencerminkan deiksis sosial. Dalam contoh di atas dapat diketahui tingkat
sosial pembicara dan lawan bicara. Lawan bicara memiliki tingkat sosial yang
lebih tinggi dari pada pembicara.
b. Praanggapan (Presupposition)
Praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai
dasar bersama bagi para peserta percakapan (Brown dan yule, 1996). Asumsi
tersebut ditentukan batas-batasannya berdasarkan anggapan-anggapan pembicara
mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh lawan bicara tanpa tantangan.
c.
Tindak Tutur (Speech Act)
Tindak tutur merupakan bagian dari
kajian pragmatik. Leech (1993) menyatakan bahwa pragmatic mempelajari maksud
ujarran, menanyakan apa yang seseorrang maksudkan dengan suatu tindak tutur dan
mengaitkan makna dengan siapa berbicara, kepada siapa, dimana dan bagaimana.
d.
Implikatur
Percakapan
Menurut Levinson (melalui Nadar, 2009: 61), menyebutkan
implikatur sebagai salah satu gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik.
Salah satu alasan penting yang diberikannya adalah bahwa implikatur memberikan
penjelasan eksplisit tentang cara bagaimana dapat mengimplikasikan lebih banyak
dari apa yang dituturkan.
Contoh :
Ibu : “jam
berapa sekarang Yah?
Ayah : “ pedagang sayurnya belum
datang”.
Jawaban dari pertanyaan di atas nampaknya tidak relevan
dengan permintaan Ibu
tentang waktu, namun ayah
sebenarnya ingin mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak tahu secara tepat
pada saat itu pukul berapa. Dia berharap penanya dapat memperkiraka waktunya
sendiri dengan mengatakan bahwa tukang sayur sudah datang. Dalam konteks ini, nampaknya penutur dan
lawan tutur sama-sama sudah mengetahui pukul berapa tukang sayur biasanya datang.
BAB
III
KESIMPULAN
Munculnya istilah
pragmatik dapat dihubungkan dengan seorang filsuf yang bernama Charles Morris
(1938).
Semiotik memiliki tiga
bidang kajian, yaitu sintaksis (syintax), semantik (semantics),
dan pragmatik (pagmatics). Pragmatik adalah kajian dari hubungan antara bahasa dan
konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. bidang kajian pragmatic adalah deiksis (dexis),
praanggapan (presupposition), tindak tutur (speech act) dan
implikatur percakapan (conversational inplicature)
Sains, Asumsi dan Pendekatan
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Hampir setengah abad yang lalu, Vessel (1965:2) memberikan pendapat
bahwa “science is what scientists do”. Sains adalah apa yang dikerjakan
para ahli Sains (saintis). Setiap penemuan dari setiap aspek dari lingkungan sekitar
mampu menjadikan seseorang dapat mengukurnya sebaik mungkin, mengumpul dan
menilai data dari hasil penelitiannya dengan hati-hati dan terbuka. Pada bagian
lain, Vessel (1965:3) mengemukakan bahwa “science is an intellectual search
involving inquiri, rational trough, and generalization”. Hal itu mencakup
tehnik Sains yang sering disebut sebagai proses Sains. Sedangkan hasilnya yang
berupa fakta-fakta dan prinsip biasa disebut dengan produk Sains. Dalam proses
sains inilah kita tidak dapat memisahkan asumsi dengan pendekatan serta
metode-metode yang digunakannya guna mendapatkan produk sains yang berkualitas.
Maka dalam makalah ini penulis akan menjelaskan tentang “Sains, Asumsi dan Pendekatan, Metode Sains
dan Metode Ilmiah”.
2.
Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang akan menjadi batasan
masalah adalah sebagai berikut:
1.
Apa itu sains?
2.
Apa yang
dimaksud dengan asumsi dan pendekatan?
3.
Bagaimanakah
bentuk dari metode sains?
4.
serta
Bagaimanakah kriteria dari metode ilmiah?
3.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas maka penulis berkesimpulan bahwa yang menjadi tujuan penulisan
yaitu:
1.
Penulis maupun
pembaca mengerti tentang sains.
2.
Penulis maupun
pembaca memahami tentang asumsi dan pendekatan.
3.
Penulis maupun
pembaca mampu memahami bentuk metode sains dan kriteria dalam metode ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sains
Kata sains berasal dari
bahasa Latin scientia yang berarti "pengetahuan" atau
"mengetahui". Dari kata ini terbentuk kata science (Inggris).
Sains dalam pengertian
sebenarnya adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai fenomena alam
sehingga rahasia yang dikandungnya dapat diungkap dan dipahami. Budi (1998) menyatakan bahwa Sains itu adalah suatu cara atau
metode untuk mengamati alam. Budi juga menjelaskan bahwa cara sains mengamati
dunia bersifat analisis, lengkap, cermat serta menghubungkan antara satu
fenomena dengan fenomena lain, sehingga keseluruhannya membentuk suatu
prespektif yang baru tentang objek yang diamatinya. Robert B. Sund (1989)
mengemukakan tiga karakteristik utama Sains yaitu:
1. Memandang bahwa setiap orang
mempunyai kewenangan untuk menguji validitas (kesahihan) prinsip dan teori
ilmiah. Meskipun kelihatan logis dan dapat dijelaskan secara hipotesis, teori dan
prinsip hanya berguna jika sesuai dengan kenyataan yang ada.
2. Memberi pengertian adanya hubungan
antara fakta-fakta yang di observasi yang memungkinkan penyusunan prediksi
sebelum sampai pada kesimpulan.
3. Memberi makna bahwa teori Sains
bukanlah kebenaran yang akhir tetapi akan berubah atas dasar perangkat
pendukung teori tersebut. Hal ini memberi penekanan pada kreativitas dan
gagasan tentang perubahan yang telah lalu dan kemungkinan perubahan di masa
depan, serta pengertian tentang perubahan itu sendiri.
Budi (1998) mengutip beberapa pendapat para ahli dan
mengemukakan beberapa rincian hakikat Sains, diantaranya:
1. Sains adalah bangunan atau deretan
konsep dan skema konseptual (conceptual scheme) yang Saling berhubungan sebagai
hasil eksperimentasi dan observasi (Conant, dalam Kuslan dan Stone, 1978).
2. Sains adalah bangunan pengetahuan
yang diperoleh dengan menggunakan metode observasi (Vessel, 1975).
3. Sains adalah suatu sistem untuk
memahami alam semesta melalui data yang dikumpulkan, melalui observasi atau
eksperimen dan yang dikontrol (Carin and Sund, 1989).
4. Sains adalah aktivitas pemecahan
masalah oleh manusia yang termotivasi oleh keingintahuan akan alam di
sekelilingnya dan keinginan untuk memahami, menguasai, dan mengelolanya demi
memenuhi kebutuhan (Dawson, 1984).
Jika dicermati ada dua aspek penting dari definisi-definisi
tersebut yakni langkah-langkah yang ditempuh dalam memahami alam (proses Sains)
dan pengetahuan yang dihasilkan berupa fakta, prinsip, konsep, dan teori (produk
Sains). Kedua aspek tersebut harus didukung oleh sikap Sains (sikap ilmiah)
berupa keyakinan akan nilai yang harus dipertahankan ketika mencari atau
mengembangkan pengetahuan baru.
Sains memiliki
ciri-ciri tertentu. Menurut Robert
B. Sund. (1989) beberapa ciri sains tersebut adalah sebagai berikut:
- Objek kajiannya sains berupa benda-benda konkret
- Sains mengembangkan pengalaman-pengalaman empiris
- Sains menggunakan langkah-langkah sistematis
- Hasil/produk sains bersifat objektif
- Sains menggunakan cara berpikir logis
- Hukum-hukum yang dihasilkan sains bersifat universal
2. Asumsi dan Pendekatan
2.1 Asumsi
Asumsi merupakan sebuah anggapan,
dugaan, pikiran yang dianggap benar untuk sementara sebelum ada kepastian. Ilmu
menganggap bahwa objek-objek empiris yang menjadi bidang penelaahannya
mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya jalin-menjalin
secara teratur.
Suatu peristiwa tidaklah terjadi
secara kebetulan namun tiap peristiwa mempunyai pola tetap yang teratur. Bahwa
hujan diawali dengan awan tebal dan langit mendung, hal ini bukanlah merupakan
suatu kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian. Kejadian ini akan
berulang dengan pola yang sama. Alam merupakan suatu sistem yang teratur yang
tunduk kepada hukum-hukum tertentu.
Secara lebih terperinci ilmu
mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris, yaitu:
1. Menganggap objek-objek tertentu
mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur,
sifat dan sebagainya.
2. Asumsi bahwa suatu benda tidak
mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan
mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini
jelas tidak mungkin dilakukan bila objek selalu berubah-ubah tiap waktu.
3. Determinisme merupakan asumsi ilmu
yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang
bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap
dengan urut-urutan kejadian yang sama. Namun seperti juga dengan asumsi
kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yang mutlak
sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu kejadian yang
lain. Ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y, melainkan
mengatakan X mempunyai kemungkinan (peluang) yang besar untuk mengakibatkan
terjadinya Y. Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang
bersifat peluang (probabilistik).
2.2
Pendekatan
Secara etimologis, istilah approach di dalam bahasa
Indonesia berarti ‘pendekatan’ atau ‘ancangan’, yang kemudian dalam konteks
permasalahan tertentu diartikan menjadi ‘cara pendekatan atau ancangan yang
digunakan untuk mendekati masalah tertentu. Istilah ini digunakan secara luas
di dalam ilmu-ilmu sosial, sehingga melahirkan berbagai istilah baru yang
terkait dengan istilah itu seperti social approach dan cultural
approach (yang digunakan dalam pembangunan sosial budaya), buttom-up
approach atau top down approach (yang digunakan dalam konteks
pembangunan ekonomi).
Di dalam konteks linguistik berikut ini dibicarakan secara
berturut-turut mengenai pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif dalam
studi linguistik historis komparatif.
1.
Pendekatan Kuantitatif
Pendekatan ini menggunakan cara kerja perhitungan statistik.
Pendekatan kuantitatif dikenalkan oleh linguis Amerika yang bernama Morris
Swadesh pada akhir tahun 1940-an (Crystal, 1987: 331). Adapun Keraf (1991:123) menyatakan
bahwa pada hakikatnya ada empat asumsi dasar (basic assumtion) yang melandasi
pendekatan kuantitatif, yaitu:
·
Pertama,
sebagian kosa kata suatu bahasa sukar sekali berubah bila dibandingkan dengan
bagian lainnya.
·
Kedua,
retensi kosa kata dasar bertahan hampir sepanjang masa (kurang lebih dalam
waktu 1000 tahun).
·
Ketiga,
perubahan kosa kata dasar terjadi relatif sama pada semua bahasa.
·
Keempat,
bila prosentase dari dua bahasa kerabat (cognate) diketahui maka dapat dihitung
waktu pisah kedua bahasa itu.
2.
Pendekatan Kualitatif
Pendekatan ini adalah pendekatan yang tidak menggunakan
dasar kerja secara statistik, tetapi berdasarkan bukti-bukti kualitatif. Yaitu
unsur inovasi bersama, baik fonologis maupun leksikal yang dimiliki oleh suatu
kelompok bahasa tertentu secara eksklusif.
Asumsi dasar pendekatan ini tentu saja terkait erat dengan
hakikat perubahan bahasa. Bahasa yang alamiah, bukan yang artifisial, pasti
mengalami perubahan dan dari perubahan itu mengimplikasikan adanya unsur
retensi dan unsur inovasi. Perubahan bahasa itu tetap bersifat historis
meskipun perubahan itu dialami oleh bahasa yang tidak mengenal sistem tulisan,
atau bahasa lisan, karena aspek yang paling mendasar dari bahasa pada dasarnya
tetap sama yaitu bunyi ujaran atau aspek fonologis.
3. Metode
Secara
etimologis, metode berasal dari kata 'met' dan 'hodes' yang berarti melalui.
Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh untuk
mencapai suatu tujuan. Sehingga 2 hal penting yang terdapat dalam sebuah metode
adalah cara melakukan sesuatu dan rencana dalam pelaksanaan. Adapun metode yang
akan kami bahas yaitu metode sains dan metode ilmiah.
3.1
Metode Sains
Jika Teori Relativitas dipandang makna filosofisnya,
maka ada banyak alternatif untuk menampakkan kebenaran dan kita tidak tahu mana
yang salah dan mana yang benar, atau mana yang mendekati kenyataan. Sehingga,
ketika orang tidak (mungkin) tahu ("know") tentang hakekat
seluruh alam, maka reali tas atau "scientific truth” menjadi kabur
dengan alasan:
·
Karena
keterbatasan ilmu manusia, maka hukum Tuhan hanya dapat dijelaskan sebatas
pengetahuan yang dikuasai.
·
Karena itu
pula, tidak ada seorang saintis yang dapat mengklaim suatu teori sains yang
paling benar secara mutlak.
·
Ungkapan yang
bisa dinyatakan adalah: ”dari bukti-bukti pengamatan saat ini, maka teori
inilah yang paling kuat, sekalipun bisa saja suatu saat ada bukti lain yang
menggugurkannya”.
·
Seseorang tidak mungkin mempunyai akses
rasional pada kebenaran universal.
Oleh karena itu observasi merupakan titik lemah dari
metode sains, karena menurut metode ini objektivitas terhadap suatu observasi
tidak mungkin begitu saja terjadi. Ditambah lagi semua orang memandang segala
hal yang ada di dalam empirik dengan mata yang dilapisi oleh "lensa"
dan setiap orang memiliki lensanya sendiri.
3.2
Metode Ilmiah
Metode ilmiah boleh dikatakan suatu
pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis.
Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari
fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta
dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Menurut Almadk (Zaenal E.
Arifin, 1987), “metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis
terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran.
Supaya suatu metode yang digunakan dalam
penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria
sebagai berikut:
1.
Berdasarkan fakta.
2.
Bebas dari prasangka (bias)
3.
Menggunakan prinsip-prinsip analisa.
4.
Menggunakan hipotesa
5.
Menggunakah ukuran objektif.
6.
Menggunakan teknik kuantifikasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Budi
menjelaskan bahwa cara sains mengamati dunia bersifat analisis, lengkap, cermat
serta menghubungkan antara satu fenomena dengan fenomena lain, sehingga
keseluruhannya membentuk suatu prespektif yang baru tentang objek yang
diamatinya.
Kemudian
asumsi didefinisikan sebagai sebuah anggapan, dugaan, pikiran yang dianggap
benar untuk sementara sebelum ada kepastian. Sedangkan approach di dalam
bahasa Indonesia berarti ‘pendekatan’ atau ‘ancangan’, yang kemudian dalam
konteks permasalahan tertentu diartikan menjadi ‘cara pendekatan atau ancangan
yang digunakan untuk mendekati masalah tertentu.
Adapun observasi
merupakan titik lemah dari metode sains, karena menurut metode ini objektivitas
terhadap suatu observasi tidak mungkin begitu saja terjadi.